Kompol Dr. I Gusti Gede Dharma Arimbawa, SpF (PS Kasubbid Dokpol Biddokkes Polda Kaltim)

PERSIDANGAN Kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan tersangka Jessica Kumala Wongso tentu tidak akan berlarut-larut seandainya jenazah korban diotopsi secara lengkap (complete autopsy) bukan otopsi sebagian (partial autopsy) karena untuk menentukan penyebab kematian korban mutlak harus diotopsi secara lengkap untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kematian yang lain. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan sebenarnya penyidik sudah membuat surat permintaan pemeriksaan luar dan dalam kepada dokter yang memeriksa jenazah korban namun keluarga korban menolak dengan alasan tidak tega jenazah korban dibedah. Berselang beberapa hari setelah kematian korban (korban telah dimakamkan) setelah emosi sudah reda dan mulai dapat berpikir dengan tenang, baru muncul kesadaran bahwa untuk membuat terang kasus yang terjadi korban harus diotopsi. Karena tanpa otopsi tidak akan dapat ditentukan sebab kematian korban, hal mana ini sangat diperlukan dalam mengajukan kasus ini agar dapat disidangkan.

Dua hal pokok yang harus dicari pada kasus ini adalah apa penyebab kematian korban dan siapa pelakunya?

Untuk menentukan sebab kematian korban maka penyidik dapat meminta bantuan kepada ahlinya yaitu dokter spesialis forensik, sedangkan untuk mencari siapa pelakunya adalah wewenang dan tugas penyidik (mungkin juga diperlukan bantuan teknis dari fungsi lain seperti Labfor atau Dokpol (Biddokkes) dalam hal pengambilan sampel dan pemeriksaan DNA).

Di negara Indonesia ada  undang-undang yang mengatur tentang permintaan kepada seorang dokter atau ahli lainnya untuk dimintai bantuannya oleh penegak hukum untuk membuat terang perkara-perkara pidana berupa Hukum Acara Pidana. Tugas keforensikkan atau keahlian lainnya yang melekat pada seorang dokter wajib dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Korban juga berhak mendapatkan keadilan yang memadai. Di dalam sistem peradilan di Indonesia, Ilmu Kedokteran Forensik merupakan suatu pembuktian secara ilmiah. Pembuktian ilmiah dituangkan ke dalam konsep alat bukti yang sah di dalam KUHAP. Ahli forensik atau dokter forensik memberikan keterangan ahli untuk memperjelas suatu perkara di persidangan maupun di dalam tahap pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum (pasal 186 KUHAP). Mereka juga bisa melakukan pemeriksaan forensik terhadap suatu barang bukti dan kemudian menuangkannya di dalam suatu alat bukti yang sah dalam bentuk surat (pasal 187 KUHAP).

Pemeriksaan barang bukti manusia didasarkan atas pasal 133 KUHAP disebutkan bahwa setiap dokter (apakah dia dokter ahli kedokteran kehakiman, dokter umum atau pun dokter spesialis) secara implisit dapat dikategorikan sebagai ahli sepanjang ia memang diminta secara resmi oleh penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk itu dan permintaan tersebut dalam kapasitasnya sebagai ahli.

Pada pasal 133 KUHAP tersebut memang sangat jelas yaitu penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. Pasal 179 ayat (1) lebih memperjelas lagi kewenangan dokter untuk memberikan keterangan ahli. Jadi status dokter tidak dapat dikategorikan sebagai ahli bila tidak ada permintaan resmi untuk itu.

Bila suatu tindak pidana terjadi hendaknya penegak hukum segera mengajukan permintaan bantuan dokter forensik agar tidak disulitkan dengan hal-hal yang bisa merubah barang bukti dalam hal ini tubuh manusia. Dalam korban meninggal dunia, penegak hukum segera meminta pemeriksaan luar dan dalam dengan kata lain “autopsi’. Di Indonesia, autopsi forensik tidak merupakan keharusan bagi semua kematian, namun sekali diputuskan oleh penyidik perlunya otopsi maka tidak lagi yang boleh menghalangi pelaksanaannnya (dalam pasal 134 KUHAP dan 222 KUHP) dan tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya. Hasil otopsi tsb dituangkan dalam bentuk Visum et Repertum yang memuat identitas korban, menentukan secara pasti kematian korban, memperkirakan saat kematian, menentukan sebab kematian dan menentukan mekanisme kematian korban.

Fungsi dari Ilmu Kedokteran Forensik yaitu menentukan apakah suatu peristiwa yang sedang diselidiki merupakan peristiwa pidana atau bukan, membantu penegak hukum mengetahui bagaimana proses tindak pidana tersebut (kapan, dimana, dengan apa, bagaimana dan apa akibatnya), karena berburu dengan waktu kematian yang setelah 12 jam saat kematian akan terjadi pembusukan sehingga korban semakin sulit dikenali dan hilangnya penyebab pasti kematian akibat pembusukan.
Dalam melakukan autopsi forensik beberapa hal pokok perlu diketahui, yaitu:

Otopsi harus dilakukan sedini mungkin. Perubahan Post Mortem (setelah meninggal) dapat mengubah keadaan suatu luka maupun suatu proses patologik sedemikian rupa sehingga mungkin diinterpretasi salah.

Otopsi harus dilakukan lengkap (complete autopsy), bukan sebagian (partial autopsy). Agar otopsi dpt mencapai tujuannya, maka otopsi haruslah lengkap, meliputi pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam (pembedahan) meliputi pembukaan rongga tengkorak, rongga dada, rongga perut, dan rongga panggul.
Otopsi dilakukan sendiri oleh dokter. Otopsi tidak boleh diwakilkan kepada perawat atau mantri. Dokter harus melakukan sendiri interpretasi atas pemeriksaan yang dilakukan, untuk memenuhi ketentuan dalam undang-undang yang menuntut dilakukannya pemeriksaan yang sejujur-jujurnya, menggunakan pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Pemeriksaan dan pencatatan yang lengkap dan seteliti mungkin. Semua kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan jenazah harus dicatat sebaik-baiknya. Di samping itu, perlu juga dicatat “penemuan negatif” (negative findings) pada kasus-kasus khusus (spesifik).untuk menunjukkan bahwa pemeriksa berusaha mencari data-data itu namun tidak ditemukan pada tubuh korban. Misal, pada kasus mati lemas (asfiksia) seharusnya ditemukan bintik-bintik perdarahan (petekie) pada kelopak mata dan kebiruan pada kuku jari-jari tangan dan kaki, jika pada kasus asfiksia tidak ditemukan tanda-tanda itu maka harus dicatat bahwa tidak ditemukan petekie dan kebiruan pada kuku.

Jika DIANALISA dan dikaitkan dengan penanganan kasus kematian Wayan Mirna Salihin maka dapat dicatat beberapa hal, yaitu :
Bahwa terhadap jenazah Wayan Mirna Salihin telah dilakukan pemeriksaan luar pada hari kematian korban yaitu tanggal 6 Januari 2016, sedangkan otopsi sebagian (partial autopsy) dilakukan pada hari Sabtu, 9 Januari 2016 untuk mengambil sampel cairan lambung, sampel organ-organ lain untuk pemeriksaan toksikologi. Pengambilan sampel setelah tiga hari ini mungkin hasilnya akan dipengaruhi oleh perubahan Post Mortem (setelah meninggal) yang dapat mengubah keadaan suatu proses patologik sedemikian rupa sehingga mungkin diinterpretasi salah.

Pelaksanaan otopsi (partial autopsy) dan pengambilan sampel organ yang dilakukan setelah jenazah diawetkan dengan formalin (embalming) dapat menyebabkan terjadinya kesulitan penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP.

Otopsi yang dilakukan adalah otopsi sebagian (partial autopsy) bukan otopsi lengkap (complete autopsy) karena keluarga korban menolak untuk dilakukan otopsi lengkap, padahal untuk menentukan penyebab kematian korban mutlak harus dilakukan otopsi lengkap (complete autopsy) dimana hal ini sangat diperlukan dalam mengajukan kasus ini agar dapat disidangkan

Pelaksanaan otopsi untuk kematian tidak wajar adalah mutlak karena hanya dengan itu sebab kematian korban dapat diketahui dengan pasti. Kalau penyidik menganggap bahwa otopsi harus dilakukan maka penyidik hanya berkewajiban memberitahukan kepada keluarga korban, bukan meminta “izin” (pasal 134 KUHAP) karena kalau keluarga menolak dilakukan otopsi padahal penyidik memandang otopsi perlu dilaksanakan maka keluarga korban dapat terancam pidana seperti tertuang pada pasal 222 KUHP.

(Humas Polda Kaltim)

Bagikan:
Leave A Reply

Exit mobile version